Woensdag 15 Mei 2013

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN JOHN STUART MILL



A.    Pendahuluan

Masa-masa pencerahan menjadi suatu tenpat lahirnya banyak para pemikir-pemikir yang karya-karyanya mempunyai impact yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Kalau kita mau mencoba bagaimana mereka mendapatkan pengetahuaannya, akan sulit sekali untuk dirunutnya. Namun pada intinya, proses ilmu pengetahuan dari apa yang mereka gagaskan berdasarkan pada suatu tesis , anitesis dan sintesis hingga sampai detik ini, tesis dan anitesis mereka mungkin banyak orang yang dapat mengkritiknya hingga sampai nantinya berakhir pada suatu sintesis. Italia, Jerman, Inggris dan Perancis menjadi Negara penghasil pemikir-pemikir intelektual yang paling mendominasi di zaman pencerahan. Tidak luput juga bagaimana di zaman tersebut telah terlahir gagasan-gagasan ideologi seperti liberalisme, romantisme, komunisme, sosialisme dan lain-lain. Dengan topik pembahasan tokoh yang akan saya ulas ini, mengantarkan bagaimana pertarungan intelektual terjadi antara beberapa tokoh. John Stuart Mill adalah salah satu tokoh liberalis yang dalam gagasan-gagasannya mencirikan pentingnya sebuah kebebasan individu terhadap individu tersebut. Bagaimana Mill menerangkan dalam pemikirannya tentang suatu kebebasan adalah hak yang layak dimiliki oleh setiap individu, akan saya jelaskan dengan tujuan pembelajaran kita sebagai kalangan akademis yang haus akan keilmuan. Mill juga membahas tentang pemerintahan, ekonomi, kesetaraan wanita di dalam karya-karyanya yang terkenal.




B.     Biografi John Stuart Mill
John Stuart Mill dilahirkan pada Rodney Street di Pentonville daerah London pada tahun 1806, anak sulung dari filsuf Skotlandia, sejarawan dan imperialis James Mill dan Harriet Burrow. Mill muda tidak pernah sekolah, namun ayahnya memberi suatu pendidikan yang sangat baik. Terbukti sejak kecil usia 3 tahun sudah diajari bahasa Yunani, bahasa Latin pada usia 8 tahun, serta ekonomi politik dan logika (termasuk karya asli Aristoteles) pada usia 12 tahun dan mendiskusikannya dengan ayahnya. Selanjutnya Mill mempelajari ekonomi, Demonthenes dan Plato khususnya pada metode dan argumentasi (Mudhofir, 2001: 362).
Pada usia 15 tahun, ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya untuk menjadi ”Sosial Reformer” (pembaharu sosial). Ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di India House Company, di mana Ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahaan tersebut bubar pada tahun 1853. Selama tahun 1865-1868 Mill menjadi anggota dalam Lower House parlemen Inggris (Suseno, 2003: 177).
Sejak kecil John Stuart Mill juga mendapatkan pendidikan langsung dari pamannya Jeremy Betham. Sehingga tidak mengherankan ketika berusia 20 tahun, Mill sudah terkenal sebagai pemimpin gerakan utilitarianisme yang kritis. Di samping itu, ketika bekerja di India Company pada tahun 1823, Ia selalu meluangkan banyak waktu untuk melakukan pengembaraan intelektual dan menyebarkan ajaran utilitarianisme melalui surat kabar dan jurnal (Schmandt, 2004: 454).
Pada tahun 1831 ia diperkenalkan pada Harriet Taylor, istri seorang saudagar makmur. Kisah cinta platonik mill dengan Harriet menjadi legenda. Mereka melakukan percakapan intensif dan Mill memuji Harriet karena telah banyak memberikan inspirasi terhadap karya-karya pemikiran dan tulisannya. Suami Harriet meninggal pada tahun 1849 dan tiga tahun kemudian Harreit dan John pun menikah. Harriet meninggal pada tahun 1858, setelah kematian istrinya, John mulai menulis tentang karya-karyanya dan beberapa waktu berdinas di parlemen antara tahun 1865-1868. Ia meninggal di Avignon pada tahun 1973 dikarenakan sakit.
Mengingat pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826 ia mengalami keambrukan karena sakit saraf. Namun, krisis mental itu mempunyai efek yang positif. Ia mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan mengembangkan pahamnya sendiri tentang utilitarianisme. Paham ini dirumuskannya dalam essay Utilitarianism dari tahun 1864, yang kemudian menjadi bahan sebuah diskusi hebat selama hampir seluruh akhir abad ke 19, terutama di Inggris. Paham khas tentang utilitarianisme yang dirumuskan Mill merupakan sumbangan penting kepada filsafat moral. Ia meninggal di Avigron di Prancis pada tahun 1873.
Mill adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya tentang ekonomi dan kenegaraan dibaca luas. Salah satu tulisannya paling gemilang dalam etika politik segala zaman adalah bukunya On Liberty di tahun 1859, yang merupakan pembelaan kebebasan individu terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat. Tulisan lainnya yang penting adalah System of Logic pada tahun 1843, Principles of Political Economy pada tahun 1848, Considerations on Representative Government, dan The Subjection Of Women diseleseikan pada tahun 1861, tiga tahun setelah kematian Harriet, Mill menggambarkan kesulitan kaum wanita di dalam sebuah tatanan sosial pada tulisan karyanya ini, serta Utilitarianism, diseleseikan pada tahun 1863. Mill menjadi tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi membela paham laissez faire klasik, melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan social (Magnis Suseno, 1998: 177-178).



C.     Pemikiran John Stuart Mill
1.      Utilitarianisme
John Stuart Mill menyatakan bahwa ada dua sumber pemikiran utilitarianisme. Pertama, dasar normatif artinya suatu tindakan dianggap benar kalau bermaksud mengusahakan kebahagiaan atau menghindari hal yang menyakitkan, dan buruk kalau bermaksud menimbulkan hal yang menyakitkan atau tidak mengenakkan. dan Kedua, dasar Psikologi artinya dalam hakikat manusia berasal dari keyakinannya bahwa kebanyakan, dan mungkin saja semua, orang punya keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan sesama manusia (Salam, 1997: 77-78).
Utilitarianisme menggunakan utility (manfaat) atau kebahagiaan terbesar (the greatest happiness) sebagai dasar moralitas. Dasar tersebut menyatakan bahwa tindakan adalah benar jika condong untuk menambah kebahagiaan atau salah jika condong untuk menimbulkan keburukan. Jadi suatu tindakan adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia dan hasil akhir dari suatu tindakan jauh lebih penting dari pada motivasi di belakangnya. Artinya, memaafkan kebohongan bilamana memiliki faedah (yakni kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang dari pada mencelakakannya. Dengan demikian, misalnya mencuri bisa diterima secara moral, jika mencuri dikarenakan untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan (Palmquist, tth: 300).
Karena tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan, dan kaya se kaya-kaya nya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Mill kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia (Poespoprodjo, 1999: 62-63).
Lebih dari itu lanjut Mill, tolak ukur moralitas kebahagiaan kaum utilitarianisme bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Mungkin akan muncul pertanyaan: apa yang dapat menggerakkan saya untuk berkurban demi kebahagiaan orang lain? Untuk menjawab pertanyaan ini Mill memakai teori psikologi tentang asosiasi: Asal saja orang membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaan nya sendiri dengan kebahagiaan seluruh masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan sendiri juga akan mendorongnya untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat (Suseno, 1998: 174).
Menurut Mill, semula manusia memang bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan, lama-kelamaan keutamaan dikaikan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan (Suseno, 2003: 184).
Bagi Mill bahwa keinginan untuk memeroleh kesenangan yang besar merupakan satu-satunya motif tindakan individu, dan bahwa kebahagiaan yang paling besar dari setiap orang merupakan patokan bagi kebaikan masyarakat dan sekaligus menjadi tujuan dari semua tindakan moral.
Kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan. Maka, Ada dua hal yang dapat dipahami, Pertama, moralitas tindakan diukur dari sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan Kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan dari rasa sakit (Suseno, 2003: 181). Bagi Mill kebahagiaan terbagi dalam enam disposisi, yaitu: Pertama, baik dalam bidang pikir maupun kerja, terdapat konsekuensi-konsekuensi senang dan susah. Satu-satunya yang diinginkan ialah kesenangan, sebagai konsekuensi logis.
Kedua, dari segi psikologi, di mana pun manusia berada, apa pun yang mereka kerjakan, sudah menjadi wataknya, manusia itu selalu mendambahkan/menginginkan kesenangan.
Ketiga, antara kesenangan-kesenangan itu sendiri kualitasnya tidak sama. Sudah tentu orang akan memilih jenis kesenangan yang menurut anggapannya lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya.
Keempat, bahwa kesenangan itu sendiri dapat dirasakan oleh banyak orang. Bila masih ada hal-hal lain yang diperlukan di luar dari kesenangan maka hal-hal lain itu tidak lebih daripada pelengkap dari kesenangan itu sendiri.
Kelima, bahwa bila terdapat dua jenis kesenangan yang dianggap sama, maka yang dijadikan kriteria untuk memilih mana di antaranya yang terbaik, maka dipilihlah yang paling lama memberikan kesan, yang paling lama dapat dinikmati tanpa mengaitkan penilaian itu dengan biayanya.
Keenam, bahwa kesenangan itu adalah merupakan suatu yang paling pantas diterima oleh seseorang yang telah bekerja, telah berusaha dan telah berjuang dalam hidupnya (Salam,1997: 92-93).
Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak menuntut lebih dari sekedar kesenangan lahiriah (sensual pleasure) untuk membuatnya bahagia. Bagi orang seperti ini, ketidakpuasan di bawah kondisi tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates daripada orang tolol yang puas (Schmandt, 2002: 455-456).
Bagaimana orang bisa menentukan manakah dari dua kesenangan yang mempunyai nilai lebih intrinsik? Mill menyatakan bahwa keputusan dari orang yang mengalami kedua kesenangan itu harus dijadikan pedoman. Karena perbandingan antara kualitas kesenangan pada dasarnya tidak berbeda dengan perbandingan kuantitas, bahkan perbandingan yang disebut terakhir ini harus dijadikan acuan sebagai keputusan orang yang paling kompeten (Schmandt, 2002: 456).
Utilitarianisme mengungkap suatu penghayatan moral yang kritis dan rasional. Tidak diakui bahwa ada tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib atau terlarang. Pada dirinya sendiri semua tindakan dianggap netral. Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan itu ialah tujuannya dan akibat-akibatnya sejauh dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya hal hubungan seks di luar perkawinan. Seorang utilitaris tidak akan menerima bahwa hal itu begitu saja tidak boleh. Ia akan menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal dengan mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruk dari hubungan seks di luar perkawinan, baru ia memberi penilaian apakah boleh atu tidak (Suseno, 2002: 124).
Utilitarianisme sebagai pendirian etis terasa masuk akal, tidak dapat dipersoalkan karena memang jelas yang disikapi. Apa arti berbuat baik bila tak mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan apa pun macam dan tingkatnya? Menurut Utilitarianisme semua perbuatan baru dapat dinilai jika akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan. Sebelum itu netral; semua peraturan tidak dengan sendirinya harus ditaati. Sebelum ditaati, peraturan itu harus dipertanggungjawabkan akibatnya bagi mereka yang terkena. Karena pada hakekatnya manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain dan harus memperhitungkan mereka dalam perilaku dan tindakannya (Mangunhardjo, 2000: 229).
Mill menolak anggapan bahwa utilitarianisme sama dengan opurtunisme yang selalu memilih apa yang paling bermanfaat. Bagi Mill prinsip manfaat hanya kalau dapat membenarkan tuntutan mutlak seperti jangan berbohong, karena kalau larangan itu mutlak, kepercayaan antara manusia dapat dipertahankan., padahal kepercayaan itu amat diperlukan, kecuali itu memang ada kemungkinan suatu kekecualian dan hal itu juga diakui oleh etika-etika yang bukan utilitaristik. Bagitu pula sangkaan bahwa tidak mungkin manusia selalu mempertimbangkan segala akibat tindakannya tidak kuat, karena akibat kebanyakan tindakan sudah disadari manusia berdasarkan pengalaman umat manusia selama beribu-ribu tahun.
Secara umum etika utilitarianisme John Stuart Mill berbeda dengan para pendahulunya Jeremy Betham yaitu:
Pertama, Mill tidak hanya membedakan kenikmatan menurut jumlahnya, melainkan juga menurut sifatnya. Sifat ini tidak hanya menyangkut keadaan-keadaan yang bersifat tambahan, seperti mahal, berharga, dan sebagainya, melainkan juga terutama yang bersifat hakiki; kenikmatan yang satu pada hakikatnya lebih bernilai dibandingkan dengan kenikmatan lainnya. Dalam arti Mill menganggap bahwa kenikmatan-kenikmatan memiliki tingkatan kualitas, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus lebih tinggi dari kesenangan hewan, tegasnya kesenangan orang seperti Socrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Sedangkan Bentham menyatakan bahwa kenikatan pada hakikatnya sama, satu-satunya aspeknya yang berbeda adalah kuantitasnya. Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan (Bertens, 2000: 249-248).
Kedua, Mill mengedepankan pada watak sosial. Artinya kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri; everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama (Bertens, 2000: 250).
Dari proposisi di atas dapat dipahami bahwa utilitarianisme Jeremy Bentham dengan prinsip the greatest happiness of the greatest number seolah-olah menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme. Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang bependirian bahwa yang baik ditetapkan berdasarkan akibat. Bila akibat itu baik, maka perbuatan yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan baik, bila akibatnya buruk, maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang berpendirian bahwa usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarianisme berpendirian bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi masing-masing dan sebagaian besar orang yang terkena (Mangunhardjo. 2000: 229).
Dari konsepsi berfikir seperti di atas, maka sebagai prinsip moral, Utilitarianisme mengandung beberapa kelemahan mendasar. Pertama, Terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan, ”berguna untuk siapa”?. Karena kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan orang yang terkena. Padahal pandangan orang tentang apa yang berguna, bermanfaat, menguntungkan sangat subyektif dan berbeda-beda. Selain itu, prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan mengalami rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti telah diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan (Bertens, 2000: 252).
Kedua, Utilitarianisme sangat memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut menyebabkan atas nama Utilitarianisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang hakikat, tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarianisme mudah mengesampingkan fakta kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh perbuatan. Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan dan etis dasar itu secara langsung menampakkan ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya. Atas nama keuntungan, orang-orang Utilitarianisme dengan tenang akan melanggar hak asasi manusia seperti hak milik.
Ketiga, Utilitarianisme mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran dan pandangan pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan, manfaat, dan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral (Bertens, 2000: 229-230).
Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat positif dari etika Utilitarianisme, Pertama, Rasionalitas. Suatu tindakan dipilih, atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada sebuah neraca perhitungan. Dengan demikian, dalam kerangka pengambilan keputusan, khususnya dalam hal ini di bidang bisnis, Ia memberi peluang bagi debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka kalkulasi keuntungan atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijakan tertentu. Ia tidak sekedar menenakankan tindakan tertentu demi tindakan itu, melainkan karena alasan rasional.
Kedua, Universalitas. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang yang memperoleh manfaat dari nilai lebih itu. Etika Utilitarianisme mengutamakan tindakan atau kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan segelintir orang( Berten, 2000: 78).
Ketiga, Kebahagiaan yang merupakan tolak ukur utilitarianisme tentang betul-salahnya kelakukan manusia bukanlah kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua orang yang bersangkutan. Utilitarianisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak, sebagai pengamat positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain (Suseno, 2003 :182).
Menurut Perspektif Islam aliran utilitarianisme sangat berbahaya karena akan menghalalkan segala cara agar mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan konsep rahmatan lil alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an al-munkar artinya mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk selalu melaksanakan kebaikan agar mendapat kebahagiaan hakiki dan mencegah manusia sebanyak-banyaknya dari perbuatan tercela agar tidak terjebak pada perbuatan-perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut al-Mawardi sebagaimana dikutip Suparman Syukur, maksud dan tujuan diwajibkannya al-amar bi al-ma’ruf di dalam Islam adalah untuk menekankan betapa pentingnya melakukan perintah-perintah Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan bagi manusia sendiri dalam hidupnya), sedangkan perintah meninggalkan larangan-larangannya, tidak lain untuk menekankan manusia betapa ruginya melakukan hal-hal tersebut. Perintah melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi semakin penting karena jiwa manusia yang loba itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan dan kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering terbuai kelalaian oleh beberapa keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga lupa terhadap larangan-larangan tersebut (Syukur, 2004: 217-218).

2.      Kebebasan Manusia
Manusia mencari bentuk kesenangan yang lebih tinggi, tujuan moralnya lebih pasti dan kesadaran sosialnya lebih tajam hanya jika mereka memahami diri mereka dengan benar. Akan tetapi, intitusi dan praktik masyarakat yang terorganisir seringkali sangat menghalangi pencerahan dan kemajuan intelektual seseorang, dan konsekuensi logisnya kesenangan yang dicari manusia seringkali mempunyai tingkat yang rendah (Schmandt, 2002: 458).
Sebenarnya tak ada masalah dalam menyediakan motif bagi kegunaan. Pada dasarnya motif itu telah tersedia dalam bentuk-bentuk simpati kemanusiaan yang sederhana atau perasaan terhadap sesama. Jika manusia memahami dirinya sendiri secara cukup, dan tidak disesatkan oleh konsepsi-konsepsi yang keliru tentang situasi manusia yang ditanamkan melalui agama yang buruk, filsafat yang buruk, dan pemerintah yang buruk, kemajuan moral manusia akan berjalan lebih cepat. Yang paling diperlukan bagi pencerahan pada saat ini adalah kebebasan. Karena kebebasan adalah sarana dan sekaligus tujuan, suatu syarat bagi kesejahteraan umum dan komponen intrinsik bagi kebahagiaan pribadi. Karena kebebasan merupakan kebaikan tertinggi yang bisa diwujudkan oleh masyarakat yang terorganisir (Aiken, 2002: 178-179).
Satu-satunya tindakan individu, di mana ia setuju dengan masyarakat adalah tindakan yang menyangkut orang lain. Kebaikannya sendiri, baik fisik atau moral, bukanlah suatu justifikasi yang mencukupi bagi negara untuk melakukan kegiatan intervensi. Intervensi publik diperbolehkan ketika individu menimbulkan kerusuhan atu melalaikan keluarga.
Dalam membuat garis batas kebebasan manusia, Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan berbicara, mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentu kepemerintahannya. Untuk menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga, apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar, maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan.
Akan tetapi kebebasan-kebebasan tersebut tidak berlaku sepanjang waktu dan dalam semua keadaan. Tindakan tidaklah sebebas pendapat dan bahkan kehilangan kebebasannya jika lingkungan di mana pendapat itu dinyatakan menunjukkan dorongan positif pada tindakan kejahatan. Di samping itu, kebebasan bertindak dan berbicara hanya berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Anak-anak tidak mempunyai hak karena mereka masih dalam tahap di mana mereka harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang berasal dari orang lain dan diri mereka sendiri (Schmandt, 2002: 462). Selain itu, membatasi kebebasan individu seseorang adalah untuk melindungi kebebasan orang lain. Karena tanpa kebebasan seorang pribadi tidak dapat menyadari bakat dan kebahagiaannya.

3.      Pemikiran Tentang Pemerintahan dan fungsinya
Penekanan kepada nilai kebebasan dan prinsip individualitas akan membawa kepada tentang ke bagian yang lebih luas yakni mengenai pemerintahan dan funsinya. J.S.Mill menekankan agart orang menyelidiki bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga politik yang paling baik. Lembaga-lembaga itu sangat tergantung pada kehendak manusia yang menciptakannya. Apabila lembaga-lembaga tersebut tidak dapat dipakai lagi, sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka dengan bantuan kehendak manusia, itu entah diubah, entah dikembangkan, entah diganti oleh lembaga lain. Hal ini menuntut bahwa orang perlu memikirkan serta menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang secara ideal paling baik. Bentuk pemerintahan ideal seperti itu, yang paling praktis menurut keadaan dan waktu terterntu adalah bentuk pemerintahan yang membawa akibat-akibat paling menguntungkan, paling langsung, dan paling memiliki masa depan. Maka bentuk pemerintahan yang paling baik secara ideal adalah bentuk pemerintahan di mana setiap warga negara mempunyai suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata. Dan hal seperti itu dapat paling baik diwujudkan dalam bentuk pemrintahan demokrasi. Suatu perundang-undangan dalam pemerintahan demokrasi, mendorong dan memajukan sifat aktif yang penuh inisiatif dan penuh semangat. Memajukan dan mengembangkan sifat yang pasif. Mill berpendapat bahwa undang-undang yang demokratis lebih menekankan dan mengembangkan pemekaran pribadi setiap orang. Undang-undang tersebut juga memajukan dalam diri setiap individu suatu semangat publik, suatu semangat yang menyibukkan diri dengan kepentingan umum. Demokrasi menuntut lebih memajukan kebebasan pribadi serta perkembangan pribadi pada masing-masing orang dari pada bentuk pemerintahan lainnya . Memang dalam pencita-citaannya adalah demokrasi langsung. Akan tetapi dalam demokrasi langsung hanya sedikit orang-orang yang bisa mengambil bagian dalam urusan-urusan umum. Maka bentuk pemerintahan yang paling ideal adalah demokrasi perwakilan. Namun bukan berarti dalam demokrasi perwakilan, perwakilan mayoritas belum menjamin melakukan penindasan terhadap minoritas. Negara bisa melakukan suatu kontrol perundangan demi menjaga perdamaian serta keamanan bersama. Dan prinspip manfaat boleh dipakai untuk membenarkan adanya sejumlah perundangan dan kontrol negara demi kepentingan umum atau kebahagiaan. Gagasan inilah yang berdampak luas terhadap perkembangan aliran liberalisme di eropa dan amerika. Bagaimana setiap apa yang dilakukan, bisa diwujudkan dengan cara tersendiri namun tidak merugikan hak-hak orang lain. Kebebasan dalam berpendapat pun berasal dari gagasan-gagasan ini.

4.      The Subjection Of Women
The subjection of  Women merupakan salah satu karya terkenal dan mempunyai pengaruh yang luas terhadap kehidupan dalam perihal kebebasan wanita di dalam suatu tatanan sosial. Karya ini menjadikan wanita sebagai subjek dalam pembahasannya tentang kesulitannya berkecimpung atau mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria dalam suatu tatara sosial. Karya ini bisa dibilang sebagai inspirasi besar terhadap para kaum feminis hinggahari ini. The subjection of women sering kali terbaca seperti literatur feminis kontemporer. Mill berpendapat adanya perbedaan dalam hubungan sosial antara dua jenis kelamin adalah sesuatu yang salah. Karena hal tersebut dapat menjadi hambatan dalam perbaikan manusia dan harus digantikan dengan suatu prinsip tentang kesetaraan sempurna yang mengakui tiadanya kekuasaan atau keisitimewaan pada satu kaum dari kaum jenis kelamin lain. Ia berpendapat bahwa kaum wanita harus diberikan status yang setara dengan kaum pria dalam lingkup tempat kerja, keluarga, arena politik dan lain-lain . Tidak salah bahwa gagasan-gagasan Mill tersebut yang terinspirasi dari diskusi panjang terhadap mantan istrinya Harriet, menjadi acuan bagi para feminis di dunia sekarang ini.

5.      Pendidikan
John stuart mill juga menyinggung tentang masalah pendidikan. Menurutnya, masyarakat tidak berhak melakukan pemaksaan sesuatu terhadap orang lain demi kepentingan individu tersebut. Pemaksaan seperlunya hanya berlaku kepada anak-anak, bukan pada orang dewasa. Sebab anak-anak harus dilindungi terhadap kemungkinan bahwa mereka dirugikan oleh orang lain atau bahwa mereka dapat merugikan dirinya sendiri. Negara harus menuntut suatu pendidikan terhadap orang-orang yang dilahirkan sebagai warganya sampai pada standar tertentu. Hal tersebut bukan berarti orang tua sebagai pelaku langsung terhadap anak-anaknya harus memaksakan anak-anaknya untuk bersekolah atau untuk mengikuti suatu jenjang pendidikan apabila orang tua tersebut tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Di sini, negara harus berperan dalam memberikan suatu peranan untuk membantu kondisi tersebut agar anak-anak tidak dirugikan akan hal itu.

6.      Pemikiran Ekonomi Politik
Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang bersifat empiris, menjadi bagian dari pemikiran Mill kedepan. Dalam karyanya Principles of Political Economy ,dia menyinggung masalah produksi, yang merupakan bagian dari aktifitas ekonomi, dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat dan keinginan pasar. Menurutnya uang adalah kekuasaan, dan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, manusia membutuhkan kekuasaan. Mill, menganggap kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan dengan pemenuhan kebutuhan fisik semata, melainkan kontinuitas produksi. Didalam Principles-nya dia banyak menyinggung masalah produksi dan buruh yang menjadi tema besar saat itu, dimana dia mencoba menghubungkan konsep universalisme etis dengan kedua hal tersebut, maka disanalah utilitarian Mill bekerja, konsekuensinya dia sedang mengkonstruk suatu pandangan humanitas didalamnya, dimana kondisi buruh dalam proses produksi harus diperhatikan serta pemenuhan kebutuhan umum. Menurut Mill penawaran selalu identik dengan permintaan, dan dia menerapkan pola fikir baru bahwa produksi tidaklah harus ditentukan dengan permintaan pasar, sehingga baginya tidak ada istilah overproduksi yang selama ini dicegah oleh kebanyakan orang. Adapun pendapat Mill lainya bahwa kemakmuran ekonomi tidak ditentukan oleh permintaan dipihak konsumen, serta produksi menurut Mill merupakan sebuah basis yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara pengusaha yang bebas. Mill dalam hal ini sejalan dengan Adam Smith yang hidup lebih awal darinya, dalam hal ini mengenai ide pembagian kerja menurut Smith, namun Mill memasukkkan unsur lain didalamnya yakni peran wanita sebagai kondisi yang memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang riil. Mill juga menjelaskan apabila suatu ekonomi berjalan mandet atau stagnan. Dalam mengatasi kondisi yang stagnan, menurut Mill mesti digiatkan lagi konsep kebahagiaan umum, dimana mencoba untuk menghindari akibat yang dialami dari stagnasi ekonomi tersebut terhadap semua orang. Menurutnya kegiatan ekonomi pada masa stagnan haruslah difokuskan pada pengentasan kemiskinan dan upaya pencegahan dari ketidakadilan ekonomi. Dalam konsep riil terkait pemikiran ekonominya, Mill mencoba untuk memberi 3 bidang pekerjaan yang dianggapnya ideal, yakni; pertanian, perusahaan, dan bank. Pertanian berkaitan dengan tanah, pemilik tanah, dan pekerja, yang tentunya saling berhubungan. Disana juga memunculkan sebuah penguasaan atas tanah,atau dalam hal ini sistem kepemilikan tanah, yang coba digantikan oleh Mill dengan sistem baru, yakni sistem pertanian yang bernuansa kompetitif. Pada perusahaan, yang mengidealkan perusahaan yang besar, dan penuh dengan persaingan usaha. Selain itu, ada pula bank dimana bank sangat berperan dalam kondisi ekonomi yang stagnan. Dapat pula memainkan peran strategisnya dalam mencairkan modal sekaligus mencegah jatuhnya harga. Sementara fungsi utamanya adalah menghidupkan kembali iklim spekulasi bisnis yang sehat.












1 opmerking: