A.
Pendahuluan
Masa-masa pencerahan menjadi suatu tenpat lahirnya banyak para
pemikir-pemikir yang karya-karyanya mempunyai impact yang besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Kalau kita mau mencoba bagaimana
mereka mendapatkan pengetahuaannya, akan sulit sekali untuk dirunutnya. Namun
pada intinya, proses ilmu pengetahuan dari apa yang mereka gagaskan berdasarkan
pada suatu tesis , anitesis dan sintesis hingga sampai detik ini, tesis dan
anitesis mereka mungkin banyak orang yang dapat mengkritiknya hingga sampai
nantinya berakhir pada suatu sintesis. Italia, Jerman, Inggris dan Perancis menjadi
Negara penghasil pemikir-pemikir intelektual yang paling mendominasi di zaman
pencerahan. Tidak luput juga bagaimana di zaman tersebut telah terlahir
gagasan-gagasan ideologi seperti liberalisme, romantisme, komunisme, sosialisme
dan lain-lain. Dengan topik pembahasan tokoh yang akan saya ulas ini,
mengantarkan bagaimana pertarungan intelektual terjadi antara beberapa tokoh.
John Stuart Mill adalah salah satu tokoh liberalis yang dalam
gagasan-gagasannya mencirikan pentingnya sebuah kebebasan individu terhadap
individu tersebut. Bagaimana Mill menerangkan dalam pemikirannya tentang suatu
kebebasan adalah hak yang layak dimiliki oleh setiap individu, akan saya
jelaskan dengan tujuan pembelajaran kita sebagai kalangan akademis yang haus
akan keilmuan. Mill juga membahas tentang pemerintahan, ekonomi, kesetaraan
wanita di dalam karya-karyanya yang terkenal.
B.
Biografi John Stuart Mill
John Stuart Mill dilahirkan pada
Rodney Street di Pentonville daerah London pada tahun 1806, anak sulung dari filsuf
Skotlandia, sejarawan dan imperialis James Mill dan Harriet Burrow. Mill muda tidak pernah sekolah, namun ayahnya memberi suatu
pendidikan yang sangat baik. Terbukti sejak kecil usia 3 tahun sudah diajari
bahasa Yunani, bahasa Latin pada usia 8 tahun, serta ekonomi politik dan logika
(termasuk karya asli Aristoteles) pada usia 12 tahun dan mendiskusikannya
dengan ayahnya. Selanjutnya Mill mempelajari ekonomi, Demonthenes dan Plato
khususnya pada metode dan argumentasi (Mudhofir, 2001:
362).
Pada usia 15
tahun, ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi paradigma
berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya
untuk menjadi ”Sosial Reformer” (pembaharu sosial). Ketika berusia 17 tahun,
Mill bekerja di India House Company, di mana Ia mengabdi selama tiga puluh lima
tahun sampai perusahaan tersebut bubar pada tahun 1853. Selama tahun 1865-1868
Mill menjadi anggota dalam Lower House parlemen Inggris (Suseno,
2003: 177).
Sejak kecil
John Stuart Mill juga mendapatkan pendidikan langsung dari pamannya Jeremy
Betham. Sehingga tidak mengherankan ketika berusia 20 tahun, Mill sudah
terkenal sebagai pemimpin gerakan utilitarianisme yang kritis. Di samping itu,
ketika bekerja di India Company pada tahun 1823, Ia selalu meluangkan banyak waktu untuk melakukan pengembaraan
intelektual dan menyebarkan ajaran utilitarianisme melalui surat kabar dan
jurnal (Schmandt, 2004: 454).
Pada tahun 1831 ia diperkenalkan
pada Harriet Taylor, istri seorang saudagar makmur. Kisah cinta platonik mill
dengan Harriet menjadi legenda. Mereka melakukan percakapan intensif dan Mill
memuji Harriet karena telah banyak memberikan inspirasi terhadap karya-karya
pemikiran dan tulisannya. Suami Harriet meninggal pada tahun 1849 dan tiga tahun
kemudian Harreit dan John pun menikah. Harriet meninggal pada tahun 1858,
setelah kematian istrinya, John mulai menulis tentang karya-karyanya dan
beberapa waktu berdinas di parlemen antara tahun 1865-1868. Ia meninggal di
Avignon pada tahun 1973 dikarenakan sakit.
Mengingat
pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826
ia mengalami keambrukan karena sakit saraf. Namun, krisis mental itu mempunyai
efek yang positif. Ia mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan mengembangkan
pahamnya sendiri tentang utilitarianisme. Paham ini dirumuskannya dalam essay
Utilitarianism dari tahun 1864, yang kemudian menjadi bahan sebuah diskusi
hebat selama hampir seluruh akhir abad ke 19, terutama di Inggris. Paham khas
tentang utilitarianisme yang dirumuskan Mill merupakan sumbangan penting kepada
filsafat moral. Ia meninggal di Avigron di Prancis pada tahun 1873.
Mill adalah
seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya tentang ekonomi dan
kenegaraan dibaca luas. Salah satu tulisannya paling gemilang dalam etika
politik segala zaman adalah bukunya On Liberty di tahun 1859, yang merupakan
pembelaan kebebasan individu terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat.
Tulisan lainnya yang penting adalah System of Logic pada tahun 1843, Principles
of Political Economy pada tahun 1848, Considerations on Representative Government, dan The
Subjection Of Women diseleseikan pada tahun 1861, tiga tahun setelah kematian
Harriet, Mill menggambarkan kesulitan kaum wanita di dalam sebuah tatanan
sosial pada tulisan karyanya ini, serta Utilitarianism, diseleseikan pada tahun
1863. Mill menjadi
tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi membela paham
laissez faire klasik, melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan social
(Magnis Suseno, 1998: 177-178).
C.
Pemikiran John Stuart Mill
1.
Utilitarianisme
John Stuart Mill menyatakan bahwa ada
dua sumber pemikiran utilitarianisme. Pertama, dasar normatif artinya suatu
tindakan dianggap benar kalau bermaksud mengusahakan kebahagiaan atau
menghindari hal yang menyakitkan, dan buruk kalau bermaksud menimbulkan hal
yang menyakitkan atau tidak mengenakkan. dan Kedua, dasar Psikologi artinya
dalam hakikat manusia berasal dari keyakinannya bahwa kebanyakan, dan mungkin
saja semua, orang punya keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan
sesama manusia (Salam, 1997: 77-78).
Utilitarianisme menggunakan utility
(manfaat) atau kebahagiaan terbesar (the greatest happiness) sebagai dasar
moralitas. Dasar tersebut menyatakan bahwa tindakan adalah benar jika condong
untuk menambah kebahagiaan atau salah jika condong untuk menimbulkan keburukan.
Jadi suatu tindakan adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia
dan hasil akhir dari suatu tindakan jauh lebih penting dari pada motivasi di
belakangnya. Artinya, memaafkan kebohongan bilamana memiliki faedah (yakni
kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang dari pada mencelakakannya.
Dengan demikian, misalnya mencuri bisa diterima secara moral, jika mencuri
dikarenakan untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan (Palmquist, tth: 300).
Karena tujuan perbuatan manusia dan
ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan, dan kaya se kaya-kaya nya
dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Mill kebajikan
tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang
membuat bahagia (Poespoprodjo, 1999: 62-63).
Lebih dari itu lanjut Mill, tolak ukur
moralitas kebahagiaan kaum utilitarianisme bukan kebahagiaan pelaku saja,
melainkan demi kebahagiaan semua. Mungkin akan muncul pertanyaan: apa yang
dapat menggerakkan saya untuk berkurban demi kebahagiaan orang lain? Untuk
menjawab pertanyaan ini Mill memakai teori psikologi tentang asosiasi: Asal
saja orang membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaan nya sendiri dengan
kebahagiaan seluruh masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan
sendiri juga akan mendorongnya untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat (Suseno,
1998: 174).
Menurut Mill, semula manusia memang
bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri,
melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia menyadari
bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila memiliki keutamaan, maka ia
mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan,
lama-kelamaan keutamaan dikaikan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga
seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan (Suseno, 2003: 184).
Bagi Mill bahwa keinginan untuk
memeroleh kesenangan yang besar merupakan satu-satunya motif tindakan individu,
dan bahwa kebahagiaan yang paling besar dari setiap orang merupakan patokan
bagi kebaikan masyarakat dan sekaligus menjadi tujuan dari semua tindakan moral.
Kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure)
dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya
perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan. Maka, Ada dua hal yang dapat
dipahami, Pertama, moralitas tindakan diukur dari sejauh mana diarahkan kepada
kebahagiaan, dan Kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan
kebebasan dari rasa sakit (Suseno, 2003: 181). Bagi Mill kebahagiaan terbagi
dalam enam disposisi, yaitu: Pertama, baik dalam bidang pikir maupun kerja,
terdapat konsekuensi-konsekuensi senang dan susah. Satu-satunya yang diinginkan
ialah kesenangan, sebagai konsekuensi logis.
Kedua, dari segi psikologi, di mana pun
manusia berada, apa pun yang mereka kerjakan, sudah menjadi wataknya, manusia
itu selalu mendambahkan/menginginkan kesenangan.
Ketiga, antara kesenangan-kesenangan itu
sendiri kualitasnya tidak sama. Sudah tentu orang akan memilih jenis kesenangan
yang menurut anggapannya lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya.
Keempat, bahwa kesenangan itu sendiri
dapat dirasakan oleh banyak orang. Bila masih ada hal-hal lain yang diperlukan
di luar dari kesenangan maka hal-hal lain itu tidak lebih daripada pelengkap
dari kesenangan itu sendiri.
Kelima, bahwa bila terdapat dua jenis
kesenangan yang dianggap sama, maka yang dijadikan kriteria untuk memilih mana
di antaranya yang terbaik, maka dipilihlah yang paling lama memberikan kesan,
yang paling lama dapat dinikmati tanpa mengaitkan penilaian itu dengan
biayanya.
Keenam, bahwa kesenangan itu adalah
merupakan suatu yang paling pantas diterima oleh seseorang yang telah bekerja,
telah berusaha dan telah berjuang dalam hidupnya (Salam,1997: 92-93).
Mill berusaha menunjukkan bahwa
kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan
merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa
beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang
lain. Satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya
meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak
menuntut lebih dari sekedar kesenangan lahiriah (sensual pleasure) untuk
membuatnya bahagia. Bagi orang seperti ini, ketidakpuasan di bawah kondisi
tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas
daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates daripada orang
tolol yang puas (Schmandt, 2002: 455-456).
Bagaimana orang bisa menentukan manakah
dari dua kesenangan yang mempunyai nilai lebih intrinsik? Mill menyatakan bahwa
keputusan dari orang yang mengalami kedua kesenangan itu harus dijadikan
pedoman. Karena perbandingan antara kualitas kesenangan pada dasarnya tidak
berbeda dengan perbandingan kuantitas, bahkan perbandingan yang disebut
terakhir ini harus dijadikan acuan sebagai keputusan orang yang paling kompeten
(Schmandt, 2002: 456).
Utilitarianisme mengungkap suatu
penghayatan moral yang kritis dan rasional. Tidak diakui bahwa ada
tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib atau terlarang. Pada dirinya
sendiri semua tindakan dianggap netral. Yang memberi nilai moral kepada
tindakan-tindakan itu ialah tujuannya dan akibat-akibatnya sejauh dapat
diperhitungkan sebelumnya. Misalnya hal hubungan seks di luar perkawinan.
Seorang utilitaris tidak akan menerima bahwa hal itu begitu saja tidak boleh.
Ia akan menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal dengan
mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruk dari hubungan seks di luar
perkawinan, baru ia memberi penilaian apakah boleh atu tidak (Suseno, 2002:
124).
Utilitarianisme sebagai pendirian etis
terasa masuk akal, tidak dapat dipersoalkan karena memang jelas yang disikapi.
Apa arti berbuat baik bila tak mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan apa
pun macam dan tingkatnya? Menurut Utilitarianisme semua perbuatan baru dapat
dinilai jika akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan. Sebelum itu netral;
semua peraturan tidak dengan sendirinya harus ditaati. Sebelum ditaati,
peraturan itu harus dipertanggungjawabkan akibatnya bagi mereka yang terkena.
Karena pada hakekatnya manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang
lain dan harus memperhitungkan mereka dalam perilaku dan tindakannya (Mangunhardjo,
2000: 229).
Mill menolak anggapan bahwa
utilitarianisme sama dengan opurtunisme yang selalu memilih apa yang paling
bermanfaat. Bagi Mill prinsip manfaat hanya kalau dapat membenarkan tuntutan
mutlak seperti jangan berbohong, karena kalau larangan itu mutlak, kepercayaan
antara manusia dapat dipertahankan., padahal kepercayaan itu amat diperlukan,
kecuali itu memang ada kemungkinan suatu kekecualian dan hal itu juga diakui
oleh etika-etika yang bukan utilitaristik. Bagitu pula sangkaan bahwa tidak
mungkin manusia selalu mempertimbangkan segala akibat tindakannya tidak kuat,
karena akibat kebanyakan tindakan sudah disadari manusia berdasarkan pengalaman
umat manusia selama beribu-ribu tahun.
Secara umum etika utilitarianisme John
Stuart Mill berbeda dengan para pendahulunya Jeremy Betham yaitu:
Pertama, Mill tidak hanya membedakan kenikmatan
menurut jumlahnya, melainkan juga menurut sifatnya. Sifat ini tidak hanya
menyangkut keadaan-keadaan yang bersifat tambahan, seperti mahal, berharga, dan
sebagainya, melainkan juga terutama yang bersifat hakiki; kenikmatan yang satu
pada hakikatnya lebih bernilai dibandingkan dengan kenikmatan lainnya. Dalam
arti Mill menganggap bahwa kenikmatan-kenikmatan memiliki tingkatan kualitas,
karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
Kesenangan manusia harus lebih tinggi dari kesenangan hewan, tegasnya
kesenangan orang seperti Socrates lebih bermutu daripada kesenangan orang
tolol. Sedangkan Bentham menyatakan bahwa kenikatan pada hakikatnya sama,
satu-satunya aspeknya yang berbeda adalah kuantitasnya. Bukan saja the greatest
number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan (Bertens, 2000:
249-248).
Kedua, Mill mengedepankan pada watak
sosial. Artinya kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua
orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja
yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam
hal ini harus diperlukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh
dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill
sendiri; everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan
demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi
ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan
cara yang sama (Bertens, 2000: 250).
Dari proposisi di atas dapat dipahami
bahwa utilitarianisme Jeremy Bentham dengan prinsip the greatest happiness of
the greatest number seolah-olah menjadi teori etika konsekuensialisme dan
welfarisme. Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang bependirian bahwa
yang baik ditetapkan berdasarkan akibat. Bila akibat itu baik, maka perbuatan
yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan baik, bila akibatnya
buruk, maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang
berpendirian bahwa usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk
kesejahteraan masing-masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena
itu, utilitarianisme berpendirian bahwa perbuatan baik ditentukan menurut
akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi masing-masing dan
sebagaian besar orang yang terkena (Mangunhardjo. 2000: 229).
Dari konsepsi berfikir seperti di atas,
maka sebagai prinsip moral, Utilitarianisme mengandung beberapa kelemahan
mendasar. Pertama, Terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai
kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan, ”berguna
untuk siapa”?. Karena kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan
orang yang terkena. Padahal pandangan orang tentang apa yang berguna,
bermanfaat, menguntungkan sangat subyektif dan berbeda-beda. Selain itu,
prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga
dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan
sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan mengalami
rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti
telah diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan (Bertens,
2000: 252).
Kedua, Utilitarianisme sangat
memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut menyebabkan atas
nama Utilitarianisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang hakikat,
tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarianisme mudah
mengesampingkan fakta kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh
perbuatan. Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan dan etis dasar itu secara
langsung menampakkan ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya. Atas
nama keuntungan, orang-orang Utilitarianisme dengan tenang akan melanggar hak
asasi manusia seperti hak milik.
Ketiga, Utilitarianisme mendorong
tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran dan pandangan
pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan, manfaat, dan
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya untuk
membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral (Bertens,
2000: 229-230).
Namun di balik itu semua, ada hal yang
sangat positif dari etika Utilitarianisme, Pertama, Rasionalitas. Suatu
tindakan dipilih, atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan
mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada
sebuah neraca perhitungan. Dengan demikian, dalam kerangka pengambilan
keputusan, khususnya dalam hal ini di bidang bisnis, Ia memberi peluang bagi
debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka kalkulasi keuntungan atau nilai
lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijakan tertentu. Ia tidak
sekedar menenakankan tindakan tertentu demi tindakan itu, melainkan karena
alasan rasional.
Kedua, Universalitas. Akibat atau nilai
lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang yang memperoleh
manfaat dari nilai lebih itu. Etika Utilitarianisme mengutamakan tindakan atau
kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan
segelintir orang( Berten, 2000: 78).
Ketiga, Kebahagiaan yang merupakan tolak
ukur utilitarianisme tentang betul-salahnya kelakukan manusia bukanlah
kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua orang yang
bersangkutan. Utilitarianisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak,
sebagai pengamat positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya
sendiri dan kebahagiaan orang lain (Suseno, 2003 :182).
Menurut Perspektif Islam aliran
utilitarianisme sangat berbahaya karena akan menghalalkan segala cara agar
mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan konsep
rahmatan lil alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an
al-munkar artinya mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk selalu melaksanakan
kebaikan agar mendapat kebahagiaan hakiki dan mencegah manusia
sebanyak-banyaknya dari perbuatan tercela agar tidak terjebak pada
perbuatan-perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut al-Mawardi sebagaimana dikutip
Suparman Syukur, maksud dan tujuan diwajibkannya al-amar bi al-ma’ruf di dalam
Islam adalah untuk menekankan betapa pentingnya melakukan perintah-perintah
Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan bagi manusia sendiri dalam
hidupnya), sedangkan perintah meninggalkan larangan-larangannya, tidak lain
untuk menekankan manusia betapa ruginya melakukan hal-hal tersebut. Perintah
melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi semakin penting
karena jiwa manusia yang loba itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan
dan kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering
terbuai kelalaian oleh beberapa keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga
lupa terhadap larangan-larangan tersebut (Syukur, 2004: 217-218).
2.
Kebebasan
Manusia
Manusia mencari bentuk kesenangan yang
lebih tinggi, tujuan moralnya lebih pasti dan kesadaran sosialnya lebih tajam
hanya jika mereka memahami diri mereka dengan benar. Akan tetapi, intitusi dan
praktik masyarakat yang terorganisir seringkali sangat menghalangi pencerahan
dan kemajuan intelektual seseorang, dan konsekuensi logisnya kesenangan yang
dicari manusia seringkali mempunyai tingkat yang rendah (Schmandt, 2002: 458).
Sebenarnya tak ada masalah dalam
menyediakan motif bagi kegunaan. Pada dasarnya motif itu telah tersedia dalam
bentuk-bentuk simpati kemanusiaan yang sederhana atau perasaan terhadap sesama.
Jika manusia memahami dirinya sendiri secara cukup, dan tidak disesatkan oleh
konsepsi-konsepsi yang keliru tentang situasi manusia yang ditanamkan melalui
agama yang buruk, filsafat yang buruk, dan pemerintah yang buruk, kemajuan
moral manusia akan berjalan lebih cepat. Yang paling diperlukan bagi pencerahan
pada saat ini adalah kebebasan. Karena kebebasan adalah sarana dan sekaligus
tujuan, suatu syarat bagi kesejahteraan umum dan komponen intrinsik bagi
kebahagiaan pribadi. Karena kebebasan merupakan kebaikan tertinggi yang bisa
diwujudkan oleh masyarakat yang terorganisir (Aiken, 2002: 178-179).
Satu-satunya tindakan individu, di mana
ia setuju dengan masyarakat adalah tindakan yang menyangkut orang lain.
Kebaikannya sendiri, baik fisik atau moral, bukanlah suatu justifikasi yang
mencukupi bagi negara untuk melakukan kegiatan intervensi. Intervensi publik
diperbolehkan ketika individu menimbulkan kerusuhan atu melalaikan keluarga.
Dalam membuat garis batas kebebasan manusia, Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan berbicara, mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentu kepemerintahannya. Untuk menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga, apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar, maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan.
Dalam membuat garis batas kebebasan manusia, Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan berbicara, mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentu kepemerintahannya. Untuk menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga, apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar, maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan.
Akan tetapi kebebasan-kebebasan tersebut
tidak berlaku sepanjang waktu dan dalam semua keadaan. Tindakan tidaklah
sebebas pendapat dan bahkan kehilangan kebebasannya jika lingkungan di mana
pendapat itu dinyatakan menunjukkan dorongan positif pada tindakan kejahatan.
Di samping itu, kebebasan bertindak dan berbicara hanya berlaku bagi mereka
yang sudah dewasa. Anak-anak tidak mempunyai hak karena mereka masih dalam
tahap di mana mereka harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang berasal
dari orang lain dan diri mereka sendiri (Schmandt, 2002: 462). Selain itu,
membatasi kebebasan individu seseorang adalah untuk melindungi kebebasan orang
lain. Karena tanpa kebebasan seorang pribadi tidak dapat menyadari bakat dan
kebahagiaannya.
3. Pemikiran Tentang Pemerintahan dan
fungsinya
Penekanan kepada nilai kebebasan dan
prinsip individualitas akan membawa kepada tentang ke bagian yang lebih luas
yakni mengenai pemerintahan dan funsinya. J.S.Mill menekankan agart orang
menyelidiki bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga politik yang paling baik.
Lembaga-lembaga itu sangat tergantung pada kehendak manusia yang
menciptakannya. Apabila lembaga-lembaga tersebut tidak dapat dipakai lagi,
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka dengan bantuan kehendak
manusia, itu entah diubah, entah dikembangkan, entah diganti oleh lembaga lain.
Hal ini menuntut bahwa orang perlu memikirkan serta menciptakan suatu bentuk
pemerintahan yang secara ideal paling baik. Bentuk pemerintahan ideal seperti
itu, yang paling praktis menurut keadaan dan waktu terterntu adalah bentuk
pemerintahan yang membawa akibat-akibat paling menguntungkan, paling langsung,
dan paling memiliki masa depan. Maka bentuk pemerintahan yang paling baik
secara ideal adalah bentuk pemerintahan di mana setiap warga negara mempunyai
suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata. Dan hal
seperti itu dapat paling baik diwujudkan dalam bentuk pemrintahan demokrasi.
Suatu perundang-undangan dalam pemerintahan demokrasi, mendorong dan memajukan
sifat aktif yang penuh inisiatif dan penuh semangat. Memajukan dan
mengembangkan sifat yang pasif. Mill berpendapat bahwa undang-undang yang
demokratis lebih menekankan dan mengembangkan pemekaran pribadi setiap orang.
Undang-undang tersebut juga memajukan dalam diri setiap individu suatu semangat
publik, suatu semangat yang menyibukkan diri dengan kepentingan umum. Demokrasi
menuntut lebih memajukan kebebasan pribadi serta perkembangan pribadi pada
masing-masing orang dari pada bentuk pemerintahan lainnya . Memang dalam
pencita-citaannya adalah demokrasi langsung. Akan tetapi dalam demokrasi
langsung hanya sedikit orang-orang yang bisa mengambil bagian dalam urusan-urusan
umum. Maka bentuk pemerintahan yang paling ideal adalah demokrasi perwakilan.
Namun bukan berarti dalam demokrasi perwakilan, perwakilan mayoritas belum
menjamin melakukan penindasan terhadap minoritas. Negara bisa melakukan suatu
kontrol perundangan demi menjaga perdamaian serta keamanan bersama. Dan
prinspip manfaat boleh dipakai untuk membenarkan adanya sejumlah perundangan
dan kontrol negara demi kepentingan umum atau kebahagiaan. Gagasan inilah yang
berdampak luas terhadap perkembangan aliran liberalisme di eropa dan amerika.
Bagaimana setiap apa yang dilakukan, bisa diwujudkan dengan cara tersendiri
namun tidak merugikan hak-hak orang lain. Kebebasan dalam berpendapat pun
berasal dari gagasan-gagasan ini.
4. The Subjection Of Women
The subjection of Women merupakan salah satu karya terkenal dan
mempunyai pengaruh yang luas terhadap kehidupan dalam perihal kebebasan wanita
di dalam suatu tatanan sosial. Karya ini menjadikan wanita sebagai subjek dalam
pembahasannya tentang kesulitannya berkecimpung atau mendapatkan hak yang sama
dengan kaum pria dalam suatu tatara sosial. Karya ini bisa dibilang sebagai
inspirasi besar terhadap para kaum feminis hinggahari ini. The subjection of
women sering kali terbaca seperti literatur feminis kontemporer. Mill
berpendapat adanya perbedaan dalam hubungan sosial antara dua jenis kelamin
adalah sesuatu yang salah. Karena hal tersebut dapat menjadi hambatan dalam
perbaikan manusia dan harus digantikan dengan suatu prinsip tentang kesetaraan
sempurna yang mengakui tiadanya kekuasaan atau keisitimewaan pada satu kaum
dari kaum jenis kelamin lain. Ia berpendapat bahwa kaum wanita harus diberikan
status yang setara dengan kaum pria dalam lingkup tempat kerja, keluarga, arena
politik dan lain-lain . Tidak salah bahwa gagasan-gagasan Mill tersebut yang
terinspirasi dari diskusi panjang terhadap mantan istrinya Harriet, menjadi
acuan bagi para feminis di dunia sekarang ini.
5. Pendidikan
John stuart mill juga menyinggung
tentang masalah pendidikan. Menurutnya, masyarakat tidak berhak melakukan
pemaksaan sesuatu terhadap orang lain demi kepentingan individu tersebut.
Pemaksaan seperlunya hanya berlaku kepada anak-anak, bukan pada orang dewasa.
Sebab anak-anak harus dilindungi terhadap kemungkinan bahwa mereka dirugikan
oleh orang lain atau bahwa mereka dapat merugikan dirinya sendiri. Negara harus
menuntut suatu pendidikan terhadap orang-orang yang dilahirkan sebagai warganya
sampai pada standar tertentu. Hal tersebut bukan berarti orang tua sebagai
pelaku langsung terhadap anak-anaknya harus memaksakan anak-anaknya untuk
bersekolah atau untuk mengikuti suatu jenjang pendidikan apabila orang tua
tersebut tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Di sini, negara harus
berperan dalam memberikan suatu peranan untuk membantu kondisi tersebut agar
anak-anak tidak dirugikan akan hal itu.
6. Pemikiran Ekonomi Politik
Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang
bersifat empiris, menjadi bagian dari pemikiran Mill kedepan. Dalam karyanya
Principles of Political Economy ,dia menyinggung masalah produksi, yang
merupakan bagian dari aktifitas ekonomi, dalam hal pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan keinginan pasar. Menurutnya uang adalah kekuasaan, dan dalam
rangka memenuhi kebutuhannya, manusia membutuhkan kekuasaan. Mill, menganggap kemakmuran
suatu bangsa tidak ditentukan dengan pemenuhan kebutuhan fisik semata,
melainkan kontinuitas produksi. Didalam Principles-nya dia banyak menyinggung
masalah produksi dan buruh yang menjadi tema besar saat itu, dimana dia mencoba
menghubungkan konsep universalisme etis dengan kedua hal tersebut, maka
disanalah utilitarian Mill bekerja, konsekuensinya dia sedang mengkonstruk
suatu pandangan humanitas didalamnya, dimana kondisi buruh dalam proses
produksi harus diperhatikan serta pemenuhan kebutuhan umum. Menurut Mill
penawaran selalu identik dengan permintaan, dan dia menerapkan pola fikir baru
bahwa produksi tidaklah harus ditentukan dengan permintaan pasar, sehingga
baginya tidak ada istilah overproduksi yang selama ini dicegah oleh kebanyakan
orang. Adapun pendapat Mill lainya bahwa kemakmuran ekonomi tidak ditentukan
oleh permintaan dipihak konsumen, serta produksi menurut Mill merupakan sebuah
basis yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara pengusaha yang bebas.
Mill dalam hal ini sejalan dengan Adam Smith yang hidup lebih awal darinya,
dalam hal ini mengenai ide pembagian kerja menurut Smith, namun Mill
memasukkkan unsur lain didalamnya yakni peran wanita sebagai kondisi yang
memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang riil. Mill juga menjelaskan
apabila suatu ekonomi berjalan mandet atau stagnan. Dalam mengatasi kondisi
yang stagnan, menurut Mill mesti digiatkan lagi konsep kebahagiaan umum, dimana
mencoba untuk menghindari akibat yang dialami dari stagnasi ekonomi tersebut
terhadap semua orang. Menurutnya kegiatan ekonomi pada masa stagnan haruslah
difokuskan pada pengentasan kemiskinan dan upaya pencegahan dari ketidakadilan
ekonomi. Dalam konsep riil terkait pemikiran ekonominya, Mill mencoba untuk
memberi 3 bidang pekerjaan yang dianggapnya ideal, yakni; pertanian,
perusahaan, dan bank. Pertanian berkaitan dengan tanah, pemilik tanah, dan
pekerja, yang tentunya saling berhubungan. Disana juga memunculkan sebuah
penguasaan atas tanah,atau dalam hal ini sistem kepemilikan tanah, yang coba
digantikan oleh Mill dengan sistem baru, yakni sistem pertanian yang bernuansa
kompetitif. Pada perusahaan, yang mengidealkan perusahaan yang besar, dan penuh
dengan persaingan usaha. Selain itu, ada pula bank dimana bank sangat berperan
dalam kondisi ekonomi yang stagnan. Dapat pula memainkan peran strategisnya
dalam mencairkan modal sekaligus mencegah jatuhnya harga. Sementara fungsi
utamanya adalah menghidupkan kembali iklim spekulasi bisnis yang sehat.
trimakasi, sangat membatu skali.
AntwoordVee uit